Jumat, 08 Februari 2013

Muhammad Shahab Memerangi Kemaksiatan dan Penjajahan

Sebagai pemimpin gerakan dakwah di Sumatera, Muhammad Shahab alias Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin dengan tegas memerangi kemungkaran. Sasarannya penyakit masyarakat seperti perjudian, sabung ayam, minuman keras, candu hingga penyelewengan Syariat (mencapur adukan Syariat dengan adat nenek moyang) yang di pelopori oleh para tokoh dan bangsawan Minang. Dengan sebutan kau Paderi, ia memimpin temannya berusaha membersihkan ajaran Islam dari unsur bid'ah dan syirik.

Merasa terusik dan terancam kedudukannya, kaum adat tidak terima hingga terjadi perang sesama Minang. Merasa kalah dan terjepit, kaum adat meminta bantuan Kolonial Belanda. Padda 21 Februari 1821, kaum adat resmi menyerahkan wilayah drek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni sebagai kopensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Dengan semboyan Gold, Glory, Gospel (kekayaan, Kemenangan dan penginjilan) maka pecahlah perang terkenal dengan nama Perang Padri (1821-1837).

Pertempuran pertama terjadi ketika Residen James du Puy di padang memerintahkan pasukan Kompeni menyerang Simawang atas perintah karena "diundang" kaum Adat. Muhammad Shahab atau lebih terkenal denga sebutan Tuanku Imam Bonjol menyambutnya dengan semangat jihad. Ketangguhannya dalam menyerangan  membuat beberapa kali gabungan pasukan kolonial dengan kaum Adat selalu hancur. Akhirnya dengan kekuatan yang sangat besar lengkap dengan pasukan Artilerinya, pada tanggal 16 April 1823 kompeni menyerang Lintau. Tuanku Imam Bonjol dengan gigih melakukan perlawanan hingga akhirnya Letkol Raaff terpaksa kembali ke Batusangkar dengan membawa kekalahan besar.

Penyerang-penyerangan selanjutnya kompeni selalu kandas karena harus memecah konsentrasinya untuk menghadapi perlawanan Diponegoro di tanah Jawa. Guna menghindari kekalahan yang lebih besar, James du Puy mengadakan gencatan senjata yang terkenal dengan sebutan"Perjanjian Masang". Selama periode ini digunakan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk memulihkan kekuatan sambil mencoba merangkul Kaum Adat. Dengan cara pendekatan dan memberikan bimbingan-bimbingan, akhirnya Kaum Adat sadar hingga muncullah kesepakatan damai dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato atau Plakat Tabek Patah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah Al-Quran).

Kompeni Ingkar
Pasca berkhirnya perang Diponegoro, Belanda mengingkari isi perjanjian Masang dan menyerang Negeri Pandai sikat secara Frontal dan besar-besaran dan membangun benteng di Bukittinggi yang terkenal dengan nama Fort de Kock. Tuanku Imam Bonjol memimpin kau Paderi dan kau Adat bahu membahu dengan gigih berhasil membendung serangan-serangan musuh. Belanda menurunkan pasukan yang lebih besar lagi. Akhirnya di awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil di Taklukan, kemudian disusul Luhak Limo Puluah, Luhak Tanah Datardan Luhak Limo Puluah. Sementara kekuatan kaum Padri di Luhak Agam mulai melemah setelah jatuhnya Kamang di akhiri tahun 1832. Tuanku Imam Bonjol terpalsa mundur dan bertahan di Bonjol. Meski dalam kondisi terjepit, beliau menolak berunding dengan Residen Francis di Padang. Belanda terus menekan hingga mengganti panglima perangnya sebanyak tiga kali. setelah tiga tahu dikepung, pada tahun 1837 Bonjol Jatuh dan Tuanku Imam Bonjol ditangkap hingga akhirnya dibawa ke Minahasa dan Wafat pada 6 November 1864.

Meski belum berhasil mengusir Belanda dari Bumi Minang, namun Muhammad Shahab alias Petto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol berhasil memberantas dan menyadarkan para pelaku maksiat, bid'ah dan kesyirikan. Hal ini ditandai dengan disepakati perjanjian Plakat Puncak Pato dengan kaum Adat yang dulu menentang. Sementara kerajaan Belanda mengagumi kehebatan sosoknya. Salah satu diantara para ahli sejarah eropa mengatakan "Pertempuran Heroik seorang Ulama Islam Tuanku Imam Bonjol yang mengepung Bonjol dari segi jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajah" hal ini ditulis oleh G. Teitler dalam bukunya yang berjudul Akhir Perang Paderi dan Pengepungan Bonjol 1834-1837.

By Anton Dwi Prasetiyo
 By. S. Furqon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar